Peneliti: Motif Ekonomi Politik Pengaruhi Insiden Kekerasan
Ilustrasi Kekerasan (Foto: Aktual.co/Istimewa)
Jakarta, Aktual.co — Kandidat doktor di Departemen Politik Universitas Oxford, Inggris, Patrick Barron, dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa insiden kekerasan di wilayah pascakonflik dipengaruhi motif ekonomi politik.
"Beberapa kasus kekerasan pascakonflik di beberapa wilayah di Indonesia erat kaitannya dengan motif ekonomi politik, seperti dana bantuan pascakonflik di Maluku hasil kesepakatan Perjanjian Malino yang memberikan sedikitnya dana sebesar Rp2,2 triliun," kata Barron saat memaparkan temuannya dalam Forum Kajian Pembangunan di Lembaga Penelitian SMERU Institute di Jakarta, Rabu (15/5).
"Pencegahan yang baik adalah dengan tidak memberikan 'kebiasaan buruk' semacam itu dengan pendistribusian sumber-sumber daya berupa dana bantuan," ujar dia menambahkan ketika menjelaskan paparan bertajuk "Setelah Perang Usai : Ekonomi Politik dalam Kekerasan Pascakonflik di Indonesia" tersebut.
Barron membangun argumennya melalui tiga provinsi lokasi munculnya berbagai kasus kekerasan pascakonflik sebagai pijakan kajian yang ia dalami yaitu Maluku, Maluku Utara dan Aceh.
Mengutip data yang dikumpulkan oleh Sistem Pengawasan Kekerasan Nasional (NVMS), sebuah proyek misi dari Bank Dunia, Barron memaparkan bahwa selama masa konflik di Aceh setelah rezim Suharto berakhir atau pada 1998-2005 tercatat sedikitnya 10.613 korban jiwa, 8.546 korban cedera dan 9.230 bangunan yang hancur.
Sementara di Maluku Utara selama 1999-2000 terdapat 3.257 orang tewas, 2.635 orang luka-luka dan 15.004 bangunan hancur, kemudian di Maluku selama 2000-2002 tercatat 2.793 korban tewas, 5.057 korban luka-luka dan 13.843 bangunan hancur.
Kemudian setelah konflik dianggap berakhir, terdapat perbedaan antara kasus-kasus kekerasan yang muncul di Maluku tergolong tinggi, sementara Aceh menengah dan Maluku Utara rendah. Meski demikian, di tiga tempat tersebut memiliki perbedaan skala kekerasan masing-masing.
Maluku misalnya, memiliki tingkatan tinggi di kekerasan skala besar dan skala kecil, sementara Aceh memiliki temuan kasus rendah dalam kekerasan skala besar namun temuannya tergolong menengah untuk kasus skala kecil.
Di sisi lain, Maluku Utara rendah di kekerasan untuk kedua skala.
Barron berpendapat bahwa yang terjadi di Maluku Utara didasari atas tidak adanya dukungan untuk penggunaan kekerasan oleh elit lokal maupun kelompok spesialis kekerasan lokal.
"Elit telah mencapai tujuannya yaitu pembentukan provinsi baru, sementara kelompok spesialis kekerasan lokal bubar bersamaan dengan itu, sehingga kekerasan tidak berkelanjutan," ujar dia.
Sementara untuk Aceh ia berpendapat bahwa untuk kekerasan skala besar ditinggalkan karena terdapat akses perundingan kian nyata dan memberikan apa yang diharapkan mereka.
Di sisi lain, di Maluku, motif ekonomi politik sebagaimana terlihat di tempat lain lebih tercium mengingat adanya penggunaan dana bantuan pascakonflik untuk membiayai kelompok-kelompok pelaku kekerasan, demikian Barron.
Barron merupakan kandidat doktor yang sebelumnya mendapatkan gelar sarjana dan masternya di Universitas Edinburgh serta Universitas Harvard.
Selama tujuh tahun ia ikut aktif menangani program penanganan konflik dari Bank Dunia di Indonesia, termasuk selama masa perundingan damai Aceh.
"Beberapa kasus kekerasan pascakonflik di beberapa wilayah di Indonesia erat kaitannya dengan motif ekonomi politik, seperti dana bantuan pascakonflik di Maluku hasil kesepakatan Perjanjian Malino yang memberikan sedikitnya dana sebesar Rp2,2 triliun," kata Barron saat memaparkan temuannya dalam Forum Kajian Pembangunan di Lembaga Penelitian SMERU Institute di Jakarta, Rabu (15/5).
"Pencegahan yang baik adalah dengan tidak memberikan 'kebiasaan buruk' semacam itu dengan pendistribusian sumber-sumber daya berupa dana bantuan," ujar dia menambahkan ketika menjelaskan paparan bertajuk "Setelah Perang Usai : Ekonomi Politik dalam Kekerasan Pascakonflik di Indonesia" tersebut.
Barron membangun argumennya melalui tiga provinsi lokasi munculnya berbagai kasus kekerasan pascakonflik sebagai pijakan kajian yang ia dalami yaitu Maluku, Maluku Utara dan Aceh.
Mengutip data yang dikumpulkan oleh Sistem Pengawasan Kekerasan Nasional (NVMS), sebuah proyek misi dari Bank Dunia, Barron memaparkan bahwa selama masa konflik di Aceh setelah rezim Suharto berakhir atau pada 1998-2005 tercatat sedikitnya 10.613 korban jiwa, 8.546 korban cedera dan 9.230 bangunan yang hancur.
Sementara di Maluku Utara selama 1999-2000 terdapat 3.257 orang tewas, 2.635 orang luka-luka dan 15.004 bangunan hancur, kemudian di Maluku selama 2000-2002 tercatat 2.793 korban tewas, 5.057 korban luka-luka dan 13.843 bangunan hancur.
Kemudian setelah konflik dianggap berakhir, terdapat perbedaan antara kasus-kasus kekerasan yang muncul di Maluku tergolong tinggi, sementara Aceh menengah dan Maluku Utara rendah. Meski demikian, di tiga tempat tersebut memiliki perbedaan skala kekerasan masing-masing.
Maluku misalnya, memiliki tingkatan tinggi di kekerasan skala besar dan skala kecil, sementara Aceh memiliki temuan kasus rendah dalam kekerasan skala besar namun temuannya tergolong menengah untuk kasus skala kecil.
Di sisi lain, Maluku Utara rendah di kekerasan untuk kedua skala.
Barron berpendapat bahwa yang terjadi di Maluku Utara didasari atas tidak adanya dukungan untuk penggunaan kekerasan oleh elit lokal maupun kelompok spesialis kekerasan lokal.
"Elit telah mencapai tujuannya yaitu pembentukan provinsi baru, sementara kelompok spesialis kekerasan lokal bubar bersamaan dengan itu, sehingga kekerasan tidak berkelanjutan," ujar dia.
Sementara untuk Aceh ia berpendapat bahwa untuk kekerasan skala besar ditinggalkan karena terdapat akses perundingan kian nyata dan memberikan apa yang diharapkan mereka.
Di sisi lain, di Maluku, motif ekonomi politik sebagaimana terlihat di tempat lain lebih tercium mengingat adanya penggunaan dana bantuan pascakonflik untuk membiayai kelompok-kelompok pelaku kekerasan, demikian Barron.
Barron merupakan kandidat doktor yang sebelumnya mendapatkan gelar sarjana dan masternya di Universitas Edinburgh serta Universitas Harvard.
Selama tujuh tahun ia ikut aktif menangani program penanganan konflik dari Bank Dunia di Indonesia, termasuk selama masa perundingan damai Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar